Sabtu, 19 Januari 2008

Harapan Pedagang Kecil di Tengah Krisis Tempe

[Republika] - Bagi Sanim (39 tahun), untuk mendapatkan tempe dengan diantar langsung ke rumah sudah menjadi hal yang mustahil. Pedagang gorengan yang biasa berjualan di Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan ini mengaku harus berebut mendapat tempe.

"Saya semalam jam satu dapet di Pasar Baru, itu juga rebutan," ujar Sanim kepada Republika, belum lama ini. Padahal, untuk mendapatkan tempe biasanya dia tidak perlu repot. Setiap hari ada pedagang yang mengantarkannya langsung ke rumah. Langkanya suplai kedelai yang berimbas menghilangnya tempe dalam beberapa hari terakhir mulai dirasakan sejumlah pedagang gorengan seperti Sanim. Padahal, dua komoditas itu menjadi primadona para pedagang gorengan karena memberikan berlebih dibanding komoditas camilan lain seperti pisang goreng, ubi, dan bakwan.

Selain itu, menggoreng tahu atau tempe yak memerlukan banyak minyak goreng. Jika berjualan gorengan tanpa tahu atau tempe, maka terasa tidak afdol karena tidak komplit. "Banyak yang nanyain," kata dia. Dia pun mengungkapkan, para pekerja di tempat perajin tahu di Kelurahan Kayuringin Jaya pada pulang kampung. "Gak ada kedelai mereka gak bisa giling, jadi pada pulang kampung."

Berhenti beroperasinya sejumlah perajin tahu tersebut memaksakan Sanim membeli tahu dan tempe dari Pasar Baru dengan risiko lebih mahal. "Biasanya saya beli dilangganan 16 ribu per loyang, sekarang 17 ribu belum lagi ongkos ke pasarnya." Sanim menambahkan, selain bahan tahu tempe yang langka, dia pun dipusingkan dengan kenaikan harga minyak tanah dan minyak gorang. "Minyak tanah saat ini gampang tapi mahal," kata dia. Di warung-warung saat ini per liternya dijual Rp 4.500. Sementara yang jual keliling sudah mencapai Rp 5 ribu. Begitu pun terigu. Saat ini kata dia dari harga enam ribu per kilogramnya sudah naik menjadi Rp 6.500.

Sulani (22) pedagang gorengan di sekitar perkantoran Sentra Niaga Kalimalang, Bekasi mengungkapkan bahwa langkanya tempe dan tahu tidak mempengaruhi dagangannya. Karena selama ini dia mendapat suplai dari pengrajin tahu dan tempe di sekitar terminal Bekasi. "Karena sistemnya kita ngambil dulu baru bayar," kata Sulani.

"Tapi kita tak tahu besok harganya yang harus dibayar berapa apakah naik atau tetapa seperti kemarin," kata Sulani. Memang dengan berbagai macam kenaikan harga dari berbagai macam bahan gorengan membuatnya harus putar otak. "Untuk bahan bakar tadinya saya pake kompor sekarang pake gas, lebih irit," kata Sulani."Tapi ternyata pake gas juga gasnya mau naik lagi ya???

Di tempat terpisah Dainah pengrajin tempe di Kelurahan Jaka Sampurna, Kecamatan Bekasi Barat mengaku menghentikan dulu produksi tempenya. Ia berharap harga kedelai segera bisa diturunkan. "Sekarang gak kejangkau, sekilaona bisa delapan ribu," kata dia. Apalagi untuk memproduksi tempe tersebut kata dia modal yang dikeluarkan tak hanya untuk tempe. Tetapi ada juga untuk daun, plastik serta membayar tenaga pegawai.

Dengan harga kedelai Rp 770 ribu per kuintalnya, maka biaya produksi bisa mencapai Rp 900 ribuan. Untuk itu, kata dia, saat ini yang bisa dilakukannya hanya menunggu harga kedelai turun. "Kalau turun kita bisa langsung produksi tempe lagi," kata dia. Hal itulah yang saat ini ditunggu-tunggu oleh para pedagang gorengan, perajin tempe serta pedagang tempe seperti Sanim dan Dainah. cepi setiadi

Tidak ada komentar: