Selasa, 07 Agustus 2007

Cegah Krisis Pangan, Indonesia Butuh 15 Juta Ha Lahan Pertanian

[Indonesia] - Guna mencegah terjadinya krisis pangan, Indonesia memerlukan tak kurang 15 juta hektare lahan pertanian. Untuk mewujudkannya, pemerintah tengah menggodok peraturan perundang-undangan yang tegas dalam melindungi sawah dari konversi sekaligus mendasari pencetakan areal baru di berbagai daerah Indonesia.

”Lahan pertanian pangan abadi ini sedang kita pertimbangkan keberadaannya, bukan hanya lahan sawah, bukan hanya untuk padi, karena pola makan bangsa kita bukan hanya beras, tapi juga sagu, jagung, dan lainlain,” tegas Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Medan, akhir pekan lalu.

Regulasi yang dimaksud, lanjut Mentan, ada dalam Rancangan Undang- Undang Lahan Pertanian Pangan Abadi (LPPA) yang saat ini tengah digodok berbagai kalangan, mulai akademisi hingga pemerhati lingkungan. Seminar dan lokakarya yang membahas persoalan ini telah berlangsung tiga kali, terakhir berlangsung di Medan baru-baru ini. RUU tersebut diharapkan akan diikuti produk hukum turunannya sehingga berbagai aturan yang intinya melarang konversi lahan pertanian pangan dapat diwujudkan secepatnya.

”RUU ini memang menegaskan larangan konversi lahan. Karena itu, jika terpaksa dikonversi, harus ada kompensasi. Artinya, akan ada penggantian yang disebabkan sesuatu yang urgen, misalnya, untuk jalan, minimal dua kali lipat dari lahan pertanian tadi,” ungkap Anton seraya menyebut bila diperhitungkan produksi dari 15 juta hektare lahan pertanian pangan itu diyakini dapat memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia pada 2030 yang berjumlah 280 juta jiwa.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bomer Pasaribu. Menurut dia, dalam keadaan terpaksa, lahan itu bisa dikonversi dengan berbagai kompensasinya. Aturan yang sama juga akan berlaku untuk kawasan hutan seperti yang telah berlaku di Taiwan dan Jepang.

”Namun intinya kedaulatan pangan tidak boleh terganggu, karena hak atas pangan merupakan generasi ketiga dari hak asasi manusia,” ujarnya. Saat ini, ungkap dia, Indonesia hanya memiliki 7,6 juta hektare sawah ditambah ratusan ribu hektare lahan kering lain. Namun, total lahan tersebut belum mencapai luas 15 juta hektare. ”Jika konversi lahan pertanian terus terjadi, Indonesia akan berada di ambang krisis,”tegasnya.

Sementara, dalam paparan sebagai pembicara kunci Mentan Anton Apriyantono mengungkapkan alih fungsi lahan sawah tidak akan dapat menjadi sawah kembali. Hal ini mempunyai implikasi yang serius berupa dampak negatif terhadap produksi pangan, fisik lingkungan, dan budaya masyarakat yang hidup di sekitar lahan yang dikonversi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah menyambut baik inisiatif Badan Legislatif DPR RI mengusulkan RUU tentang Lahan Pertanian Pangan Abadi.
Apalagi, jelas Mentan, kehadiran RUU tersebut merupakan amanat dari UU Penataan Ruang No 26 tahun 2007, khususnya pasal 48 ayat 1 huruf e dan ayat 2. Dalam pasal tersebut ditegaskan perlunya perlindungan terhadap kawasan lahan pertanian pangan abadi yang akan diatur dengan undang-undang.
‘’Dalam konteks ini, saya berpendapat untuk mewujudkan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan produktif, maka pemerintah baik pusat, propinsi maupun kabupaten wajib memberi insentif kepada petani antara lain kemudahan fiskal dan pajak bumi dan bangunan, sarana produksi, pembangunan sarana dan prasarana pertanian serta berbagai kemudahan lainnya,’’ tegas Mentan.
Menjawab pertanyaan wartawan, baik Mentan Anton maupun Bomer Pasaribu belum bisa memastikan kapan RUU ini akan selesai penggodokannya. ‘’Tapi, RUU ini kita prioritaskan akan selesai pada tahun ini,’’ jelas Bomer Pasari