Selasa, 22 Januari 2008

Mohon Penjelasan Menteri Pertanian Soal Krisis Kedelai

[Kepepet] - Kami sangat kecewa dengan manajemen negara ini yang sangat amburadul dalam menangani masalah-masalah pertanian. Pertanyaan kami : Mengapa negara agraris yang katanya gemah rimah lohjinawi tata trentrem kerta rahayu, soal budidaya komoditas pertanian, ternyata hasilnya nol besar, bahkan minus ?

Krisis kedelai menjadi salah satu bukti betapa pemerintah tidak memiliki tidak adanya sense of krisis. Sudah paham betul bahwa tahu-tempe merupakan makanan sehari-hari yang menjadi hajat hidup orang banyak eh... pejabat kita malahan sibuk mencari alasan sambil mempersalahkan : mengapa petani tidak menanam kedelai ? yang buntut-buntutnya kemudian disolusikan jangka pendek (dengan masalah baru) yaitu impor.

Prihatin dengan fenomena seperti ini, maka perkenankan melalui forum surat pembaca ini kami mengajukan pertanyaan sekaligus permohonan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam hal ini Menteri Pertanian Anton Apriyantono untuk menjelaskan kepada publik : Bagaimana langkah-langkah jitu pemerintah untuk mengatasi krisis kedelai, serta krisis-krisis komoditas pertanian lainnya mengingat kini harganya merangkak naik ?

Mudah-mudahanan jawaban simpatik dari Pak Menteri dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap buruknya kinerja pejabat di lingkaran pemerintahan SBY ini. Terima kasih kami ucapkan yang sebesar-besarnya atas jawaban Pak Menteri atau siapa pun yang berkenan menanggapi surat pembaca ini.


Sabtu, 19 Januari 2008

Harapan Pedagang Kecil di Tengah Krisis Tempe

[Republika] - Bagi Sanim (39 tahun), untuk mendapatkan tempe dengan diantar langsung ke rumah sudah menjadi hal yang mustahil. Pedagang gorengan yang biasa berjualan di Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan ini mengaku harus berebut mendapat tempe.

"Saya semalam jam satu dapet di Pasar Baru, itu juga rebutan," ujar Sanim kepada Republika, belum lama ini. Padahal, untuk mendapatkan tempe biasanya dia tidak perlu repot. Setiap hari ada pedagang yang mengantarkannya langsung ke rumah. Langkanya suplai kedelai yang berimbas menghilangnya tempe dalam beberapa hari terakhir mulai dirasakan sejumlah pedagang gorengan seperti Sanim. Padahal, dua komoditas itu menjadi primadona para pedagang gorengan karena memberikan berlebih dibanding komoditas camilan lain seperti pisang goreng, ubi, dan bakwan.

Selain itu, menggoreng tahu atau tempe yak memerlukan banyak minyak goreng. Jika berjualan gorengan tanpa tahu atau tempe, maka terasa tidak afdol karena tidak komplit. "Banyak yang nanyain," kata dia. Dia pun mengungkapkan, para pekerja di tempat perajin tahu di Kelurahan Kayuringin Jaya pada pulang kampung. "Gak ada kedelai mereka gak bisa giling, jadi pada pulang kampung."

Berhenti beroperasinya sejumlah perajin tahu tersebut memaksakan Sanim membeli tahu dan tempe dari Pasar Baru dengan risiko lebih mahal. "Biasanya saya beli dilangganan 16 ribu per loyang, sekarang 17 ribu belum lagi ongkos ke pasarnya." Sanim menambahkan, selain bahan tahu tempe yang langka, dia pun dipusingkan dengan kenaikan harga minyak tanah dan minyak gorang. "Minyak tanah saat ini gampang tapi mahal," kata dia. Di warung-warung saat ini per liternya dijual Rp 4.500. Sementara yang jual keliling sudah mencapai Rp 5 ribu. Begitu pun terigu. Saat ini kata dia dari harga enam ribu per kilogramnya sudah naik menjadi Rp 6.500.

Sulani (22) pedagang gorengan di sekitar perkantoran Sentra Niaga Kalimalang, Bekasi mengungkapkan bahwa langkanya tempe dan tahu tidak mempengaruhi dagangannya. Karena selama ini dia mendapat suplai dari pengrajin tahu dan tempe di sekitar terminal Bekasi. "Karena sistemnya kita ngambil dulu baru bayar," kata Sulani.

"Tapi kita tak tahu besok harganya yang harus dibayar berapa apakah naik atau tetapa seperti kemarin," kata Sulani. Memang dengan berbagai macam kenaikan harga dari berbagai macam bahan gorengan membuatnya harus putar otak. "Untuk bahan bakar tadinya saya pake kompor sekarang pake gas, lebih irit," kata Sulani."Tapi ternyata pake gas juga gasnya mau naik lagi ya???

Di tempat terpisah Dainah pengrajin tempe di Kelurahan Jaka Sampurna, Kecamatan Bekasi Barat mengaku menghentikan dulu produksi tempenya. Ia berharap harga kedelai segera bisa diturunkan. "Sekarang gak kejangkau, sekilaona bisa delapan ribu," kata dia. Apalagi untuk memproduksi tempe tersebut kata dia modal yang dikeluarkan tak hanya untuk tempe. Tetapi ada juga untuk daun, plastik serta membayar tenaga pegawai.

Dengan harga kedelai Rp 770 ribu per kuintalnya, maka biaya produksi bisa mencapai Rp 900 ribuan. Untuk itu, kata dia, saat ini yang bisa dilakukannya hanya menunggu harga kedelai turun. "Kalau turun kita bisa langsung produksi tempe lagi," kata dia. Hal itulah yang saat ini ditunggu-tunggu oleh para pedagang gorengan, perajin tempe serta pedagang tempe seperti Sanim dan Dainah. cepi setiadi

Selasa, 15 Januari 2008

Hadapi Krisis Tahu Tempe Harus Berkonsep Negara Kuat

[ANTARA News] - Mantan Ketua Umum PB HMI Periode 2003-2005, Hasanuddin, di Jakarta, Selasa, menyatakan, Indonesia harus berani menerapkan konsep "Negara Kuat" menghadapi krisis `Tahu Tempe`, BBM maupun perubahan iklim global dengan ancaman korban sosial yang kian tinggi.

"Iya konsep `Negara Kuat` harus diterapkan, untuk menjamin perlindungan hak ekonomi politik warga negara yang dijamin oleh Undang Undang Dasar (UUD) 1945," kata aktivis muda yang tengah menyelesaikan studi ilmu politik di Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) ini.

Kebijakan jangka pendek terkait dengan hal ini, menurut Hasanuddin, dapat dilakukan dengan mengembalikan fungsi Pertamina dan Bulog sebagai bagian dari pemerintah yang punya hak regulasi.

"Bank Indonesia juga hendaknya dikembalikan sebagai salah satu lembaga dalam kendali dan penguasaan pemerintah," tegasnya.

Ke depan, demikian Hasanuddin meyakinkan, siapa pun yang memerintah, tidak bisa lagi mengantisipasi dampak perkembangan ekonomi karena gejolak keterbatasan energi, maupun akibat perubahan iklim, hanya dengan memainkan skema regulator sesaat, apalagi sesuai kehendak pasar yang berubah setiap saat.

"Menerapkan pasar bebas dengan memperlemah negara seperti yang dilakukan sejak pascareformasi hingga saat ini, harus dievaluasi total," tandas Hasanuddin lagi.

Untuk itu, menurutnya, perlu amandemen (lagi) atas UUD 1945, guna memastikan adanya perlindungan maksimal negara terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

"Artinya, menghadirkan konsep "Negara Kuat" itu mendesak untuk dilakukan," tegasnya.

Ia menjelaskan, tentu kita berharap dalam amandemen kali ini, hal yang sudah tepat dan baik, agar tetap dipertahankan.

"Dan harus diingat, `Negara Kuat` yang dimaksud bukan otoritarianisme, atau militeristik yang terjebak dalam `chauvinisme` sempit," ujarnya.

"Negara Kuat" dalam pemahaman Hasanuddin, ialah, negara dengan `social capital` yang besar, karena kemampuan negara (state) memberikan perlindungan atas hak-hak dasar warganya.(*)

Senin, 14 Januari 2008

Pengusaha Tahu Tempe Akan Berunjuk Rasa

[Liputan 6] - Ribuan pengusaha tahu dan tempe akan berunjuk rasa di depan Istana Negara dan Gedung DPR pada Senin (14/1) pagi ini. Mereka akan meminta perhatian pemerintah terhadap melonjaknya harga kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe. Diperkirakan 5.000 pengusaha dan pekerja tahu dan tempe akan turun dalam aksi tersebut.

Mereka akan menuntut pemerintah meredam kenaikan harga kedelai yang naik hingga 100 persen. Kenaikan harga ini jelas memukul industri kecil tahu dan tempe karena ketergantungan terhadap kedelai impor sangat tinggi yakni mencapai 1,8 juta ton atau 40 persen dari konsumsi nasional

Perajin Demo, Tiga Hari Jakarta Bakal Krisis Tempe

[Pos Kota] - Panganan tempe dan tahu dalam tiga hari ini bakalan susah dicari, pasalnya perajin makanan tradisional itu menyatakan mogok berproduksi sebagai ujud protes atas kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku tahu tempe.

Bahkan sejak Senin (14/1) pagi kalangan produsen tahu tempe se Jabodetabek menggelar aksi demo di depan Istana Merdeka. Mereka minta Presiden SBY turun tangan menstabilkan harga.

"Harga per kwintaL kedelai dari Rp 400 ribu menjadi Rp 750 ribu. Ini sangat tidak wajar. Dulu terjadi kenaikan karena nilai tukar dolar terhadap rupiah naik, tapi sekarang tidak ada kenaikan nilai dolar kan," keluh Kliwono Suroso dari Koppti, Jakarta Utara.

Kenaikan sudah terjadi sejak Lebaran Idul Fitri, malah sejak Pilkada Pemda DKI. "Sehari bisa dua sampai tiga kali naik," jelas Kliwowon

Dari Istana Kepresidenan dijanjikan Presiden SBY akan menerima lima orang utusan Koppti, dengan syarat pengunjuk rasa mundur dari depan Istana dan mereka diminta berdemo di Taman Monas. Sampai saat ini mereka masih bertahan di depan Istana Merdeka.

Mereka menggelar poster yang isinya antara lain Turunkan dan Stabilkan Harga Kedelai, Swasembada Kedelai Agar Dittingkatkan dan Ditangani Oleh Pemerintah, Pasar Bebas Sengsarakan Perjaina Tahu Tempe. Selama ini kacang kedelai impor.

Sabtu, 15 Desember 2007

Produk Impor Picu Krisis Pangan

[Suara Pembaruan] - Ancaman krisis pangan di Indonesia, selain disebabkan semakin menyusutnya lahan pertanian pangan, juga dipicu oleh besarnya kebergantungan pada produk pangan impor, dengan tren yang semakin meningkat. Membanjirnya produk pangan impor dengan harga murah, lambat laun menghancurkan daya tahan pertanian di dalam negeri.

"Pasar pangan kita yang amat besar menjadi incaran produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan," ujar Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo kepada SP, di Jakarta, Sabtu (15/12).

Dia mengatakan, harga pangan di pasar dunia semakin murah akibat membanjirnya residual goods, yaitu barang-barang dari negara produsen yang berlebihan, yang lantas dilempar ke pasar internasional, dengan tujuan menjaga harga di dalam negerinya tetap tinggi. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kian bergantung pada pangan impor. Hal itu menyulitkan upaya membangun kemandirian pangan.

Lebih lanjut Siswono mengatakan, impor pangan dirangsang oleh kebutuhan dalam negeri yang amat besar, harga di pasar international yang rendah, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi, dan adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir atau produsen pangan.

Dia menjelaskan, rendahnya harga di pasar international, terbentuk oleh hadirnya residual goods yang harganya sangat murah, karena di negara asalnya tidak laku dijual. Misalnya, paha ayam dari Amerika Serikat dan jeroan ternak dari Australia, yang bisa dijual murah di Indonesia.

Contoh lainnya, gula dari Australia yang di pasar domestik harganya Rp 5.000 per kilogram (kg), kelebihan produksinya dijual ke Indonesia dengan harga Rp 2.100per kg. Hal serupa juga terjadi pada gula India, beras Thailand, beras Vietnam, serta tembakau dan jeruk dari Tiongkok dan Taiwan. "Produk-produk itu telah ikut menghancurkan pertanian Indonesia," tegasnya.

Di sisi lain, kemampuan sektor pertanian nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik relatif menurun. Indonesia sebagai negara agraris, dalam arti mayoritas angkatan kerjanya bekerja di bidang pertanian, akan terus menjadi negara net importer pangan yang sangat besar.

Lahan Menyusut

Hantaman yang dialami sektor pertanian, juga berasal dari luas lahan yang makin menyusut. Di Sulawesi Selatan, misalnya, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, alih fungsi lahan besar-besaran terus terjadi, sehingga mengancam kelangsungan provinsi itu sebagai salah satu lumbung pangan nasional.

"Setiap tahun tidak kurang 10.000 hektare (ha) areal pertanian berubah menjadi perumahan, lokasi industri, dan sektor nonpangan lain. Padahal, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan domestik regional bruto Sulsel cukup signifikan, mencapai 33,6 persen per tahun," ujar Andi Muallim, Sekretaris Provinsi Sulsel.

Terkait hal itu, Bupati Pinrang, Sulsel, Andi Nawir mengungkapkan, tahun 2006, di wilayahnya terjadi alih sawah menjadi tambak seluas 434 ha, dan 377 ha sawah menjadi permukiman dan pertokoan.

Senin, 10 Desember 2007

Indonesia Diprediksi Krisis Pangan Pada 2017

[Antara News] - Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan pada 2017 atau 10 tahun mendatang bila melihat ketimpangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan lahan pangan yang makin tidak seimbang dewasa ini.

Menteri Pertanian, Anton Apriyantono di sela-sela Semiloka Kebijakan Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi di Makassar, Senin, mengatakan dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3 sampai 1,5 persen, sementara luas lahan pertanian tidak mengalami penambahan, dikhawatirkan pada 10 atau 20 tahun nanti krisis pangan akan melanda negara ini.

Pasalnya, lanjut menteri, berdasarkan proyeksi kebutuhan beras bangsa Indonesia pada 2009, diperlukan penambahan produksi beras sebanyak 1,8 juta ton atau setara dengan tiga juta ton gabah kering giling setiap tahun. Untuk itu diperlukan penambahan areal sawah seluas 600.000 hektar.

"Kebutuhan lahan ini sebenarya bisa saja dipenuhi bila tidak terjadi konversi lahan pertanian ke peruntukan lain, seperti pabrik dan permukiman, namun ketersediaan lahan potensial untuk perluasan areal tanaman pangan saat ini nyaris sudah tidak ada lagi," jelasnya.

Saat ini, ujar Apriyantono, permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada sektor pertanian adalah tingginya tekanan terhadap sumberdaya lahan karena terjadi peningkatan jumlah penduduk sekitar 1,34 persen per tahun, sementara luas lahan pertanian relatif tetap.

Bila hal ini tidak segera diatasi, katanya, bangsa Indonesia juga akan sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada pasokan pangan dari luar (impor).

Sebab itu, kata menteri, pihaknya meminta kepada seluruh kabupaten dan kota untuk menerapkan agenda pemerintah berupa revitalisasi pertanian.

Menurut dia, agenda ini adalah membalik trend penurunan dan mengakselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah usaha pertanian dengan cara meningkatkan dan memperluas kapasitas produksi melalui renovasi dan restrukturisasi agribisnis.

Menteri mengakui permasalahan yang paling besar dialami bangsa Indonesia saat ini terletak pada sektor pertanahan, dengan kondisi negara sekarang mengalami keterbatasan sumberdaya lahan yang cocok untuk dikembangkan dan sempitnya rata-rata penguasaan lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia.

Selain itu, kata Apriyantono, sempitnya lahan yang dimiliki petani dan masalah sengketa tanah, juga menjadi peroalan yang cukup besar dalam mengembangkan produksi pangan di Indonesia.

Tahun ini, produksi padi Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik karena berdasarkan Angka Ramalan III Badan Pusat Statistik (ARAM III BPS), produksi padi mengalami peningkatan menjadi 57,05 juta ton GKG atau naik sekitar 4,76 persen dibanding tahun 2006, tambahnya.

Sementara produksi padi di Sulsel, kata Sekdaprov Andi Muallim saat membuka Semiloka, mencapai sekitar 3.675.251 ton GKG atau meningkat 9,20 persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 3.365.509 ton GKG.

"Kondisi ini tentunya akan berpengaruh pada pencapaian sasaran peningkatan produksi nasional 2007 yang ditargetkan sebanyak dua juta ton," kata Muallim. (*)