Sabtu, 15 Desember 2007

Produk Impor Picu Krisis Pangan

[Suara Pembaruan] - Ancaman krisis pangan di Indonesia, selain disebabkan semakin menyusutnya lahan pertanian pangan, juga dipicu oleh besarnya kebergantungan pada produk pangan impor, dengan tren yang semakin meningkat. Membanjirnya produk pangan impor dengan harga murah, lambat laun menghancurkan daya tahan pertanian di dalam negeri.

"Pasar pangan kita yang amat besar menjadi incaran produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan," ujar Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo kepada SP, di Jakarta, Sabtu (15/12).

Dia mengatakan, harga pangan di pasar dunia semakin murah akibat membanjirnya residual goods, yaitu barang-barang dari negara produsen yang berlebihan, yang lantas dilempar ke pasar internasional, dengan tujuan menjaga harga di dalam negerinya tetap tinggi. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kian bergantung pada pangan impor. Hal itu menyulitkan upaya membangun kemandirian pangan.

Lebih lanjut Siswono mengatakan, impor pangan dirangsang oleh kebutuhan dalam negeri yang amat besar, harga di pasar international yang rendah, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi, dan adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir atau produsen pangan.

Dia menjelaskan, rendahnya harga di pasar international, terbentuk oleh hadirnya residual goods yang harganya sangat murah, karena di negara asalnya tidak laku dijual. Misalnya, paha ayam dari Amerika Serikat dan jeroan ternak dari Australia, yang bisa dijual murah di Indonesia.

Contoh lainnya, gula dari Australia yang di pasar domestik harganya Rp 5.000 per kilogram (kg), kelebihan produksinya dijual ke Indonesia dengan harga Rp 2.100per kg. Hal serupa juga terjadi pada gula India, beras Thailand, beras Vietnam, serta tembakau dan jeruk dari Tiongkok dan Taiwan. "Produk-produk itu telah ikut menghancurkan pertanian Indonesia," tegasnya.

Di sisi lain, kemampuan sektor pertanian nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik relatif menurun. Indonesia sebagai negara agraris, dalam arti mayoritas angkatan kerjanya bekerja di bidang pertanian, akan terus menjadi negara net importer pangan yang sangat besar.

Lahan Menyusut

Hantaman yang dialami sektor pertanian, juga berasal dari luas lahan yang makin menyusut. Di Sulawesi Selatan, misalnya, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, alih fungsi lahan besar-besaran terus terjadi, sehingga mengancam kelangsungan provinsi itu sebagai salah satu lumbung pangan nasional.

"Setiap tahun tidak kurang 10.000 hektare (ha) areal pertanian berubah menjadi perumahan, lokasi industri, dan sektor nonpangan lain. Padahal, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan domestik regional bruto Sulsel cukup signifikan, mencapai 33,6 persen per tahun," ujar Andi Muallim, Sekretaris Provinsi Sulsel.

Terkait hal itu, Bupati Pinrang, Sulsel, Andi Nawir mengungkapkan, tahun 2006, di wilayahnya terjadi alih sawah menjadi tambak seluas 434 ha, dan 377 ha sawah menjadi permukiman dan pertokoan.

Tidak ada komentar: